PERAN PESANTREN DALAM PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL SANTRI
Studi Kasus Di Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan
Moral in the world of psychology has three domains, namely cognitive / reasoning, behavior / behavior, and affection / emotion. Moral is influenced by many elements, especially age, adolescence as an important period in which many changes in the period, both physical and non- physical, the transition period, the problem-prone period, the search for identity, and adolescence to adulthood. In the cognitive domain or moral reasoning, adolescence is crucial to the success of the self in the future. Pesantren as a sub-culture of education in Indonesia has a different educational model and has been proven to produce moral cadres.
This qualitative study with a case study approach using questionnaire and FGD methods in extracting the data, and based on the moral development theory of Lawrence Kohberg. From the results of this study indicate that; First, the moral reasoning of young santri has several variants of stages or levels, this is because the santri of the pesantren also vary from the students of Tsanawiyah, aliyah, and post-student level so that the general reasoning of Tarbiyatut Tholabah Islamic boarding school students in conventional stage III is in the interpersonal agreement orientation reasoning and stage IV namely the orientation of law and order and post conventional stage V namely the orientation of legalistic social contracts. Second; religious understanding has an important role in the moral reasoning of adolescent students through two things: first, with understanding of religion, adolescents know the moral behaviors that apply, and are based on religious value standards; Second, understanding religion will generate strong motivation for adolescent students to think, and behave in accordance with religious values that are believed to be a form of worship and that can be accepted by their environment, so that from this study also found the longer children live in pesantren, then moral reasoning santri teenagers will be better. Third; The role of pesantren in the moral reasoning of young students.
ii Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan. Edisi 6. Jilid 2. Alih Bahasa Meitasari Tjandrasa,( Jakarta: Erlangga, 1990), 23.
iii Monks, F.J.- A.M.P. Knoers, Siti Rahayu Haditono. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press ,2002), 45.
iv Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. Cetakan ke 14. Edisi Revisi ( Jakarta: PT Raya Grafindo Persada , 2011), 56.
v Abdurarahman Wahid, Pesantren sebagai sub-kultur , ed. Dawam Raharjo , Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1988), 40.
vi Ibid, 14.
viiAbd. A’la, Pesantren dan Peran Santri dalam Perubahan dalam http://blog.sunan-ampel.ac.id/ di akses pada 13 Nopember 2012
viii John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 116
ix Penalaran moral adalah alasan atau pertimbangan, mengapa sesuatu itu di anggap baik atau buruk. Baca Kusdwiratri Koestiono , Psikologi Perkembangan, ( Pajajaran : widya Padjajaran, 2009), 43- 44.
x Sarwono, S.W. Psikologi, 61.
xi Gunarsa, S.D., Gunarsa, Y.S.D. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja., (Jakarta: Gunung Mulia,2003), 91.
xii Pesantren Tarbiyatut Tholabah, yang berada di Jln. KH. Musthofa Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan adalah salah satu diantara sekian banyak pesantren yang telah survive sampai dengan seabad lebih, pesantren ini berdiri pada tahun 1898 Mxii. Pesantren ini memiliki Unit Lembaga formal terdiri dari PAUD (PG dan TKM), MI, MTs, MA dan Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah (IAI TABAH) yang dulunya bernama STAI Sunan Drajat, Jumlah keseluruhan santri ±3000.
xiii Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ( Bandung, Rosdakarya, 1994), 191.
xiv Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994., 55-56.
xvM.Sulthon & Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, (Yogyakarta : LaksBang PRESSindo, 2006) 11-12.
xvi Kohlberg, Tahap-tahap…, 159-160. Sebagaimana dikemukakan oleh Lickona dan dikutip oleh Sarwono, Psikologi Remaja, 113. Lihat juga dalam Kusdwiratri setiono, Psikologi Perkembangan;kajian teori Piaget, Kohlberg, Selman, dan aplikasi riset, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), 43.
xvii Jamil Shaliba, al-Mu‟jam al-Falsafi, Juz 1 (Mesir: Dar al-Kutub al-Misri, 1978), 539. Lihat
Madinah: Jurnal Studi Islam, Volume 6 Nomor 2 Desember 2019
pula Luis Ma’luf, Kamus Al-Munjid (Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, t.th.), 194
xviii Imam al-Ghazali, Ihya‟ „Ulum Al-Din Juz III (Kairo: Al-Mashahad al-Husain, t.th.), 56.
xix Ibn Miskawayh, Tahdhib al-Akhlak fi al-Tarbiyah (Beirut: Dar al-Kutub,1985), 12.
xx Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih (Yogyakarta: Belukar, 2004), 35.
xxi Suwito, Filsafat,35. Maksud dari metode amthal di sini adalah mengumpamakan sesuatu yang abstrak dengan yang lain yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan atau manfaat dari perumpamaan tersebut
xxii Secara terminology, kata “Qisah” al-Qur’an mengandung dua makna yaitu; Pertama, “al- Qasas fi al-Quran”, yang artinya pemberitahuan al-Qur’an tentang hal ihwal umat terdahulu, baik informasi tentang kenabian maupun tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat terdahulu. Kedua, Qasas al-Qur‟an, yang artinya karaktristik kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an.
xxiiiLebih lanjut Abdurrahman menjelaskan pengertian mawizah sebagai sesuatu yang dapat mengingatkan seseorang akan apa yang dapat melembutkan kalbunya berupa pahala atau siksa sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya. Atau bisa saja berbentuk sebagai nasihat dengan cara menyentuh kalbu. Ibid. 110.
xxiv Pengertian ibrah dalam al-Qur’an dapat diartikan sebagai upaya mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman orang lain atau dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau melalui suatu proses berfikir secara mendalam, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri seseorang.
xxv Untuk kedua istilah itu, al-Nahlawi mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu yang maslahat, Sementara tarhib” ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.
xxvi Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah Beliau adalah seorang pendidik, da’i, pejuang, kepala negara, kepala rumah tangga dan seorang yang member petunjuk kepada manusia dengan tingkah lakunya sendiri sebelum dengan kata-kata yang baik. Rasulullah merupakan teladan universal bagi umat manusia. Sebagaimaana dijelaskan dalam al-Quran, 34 (Saba’):28. QS. 31 (al-Anbiya’):107. al-Qur’an, 16 (al-Nah}l):43-44.
xxvii Hiwar Qur‟ani adalah hasil analisis secara mendalam tentang dialog-dialog yang terdapat dalam al-Qur’an Syahidin, Menelusuri Metode. 162.
xxviii Hasan, Psikologi , 297-298.
xxix Menurut Piaget, dengan teori perkembangan kognisi membagi perkembangan seseorang menjadi empat tahapan, yakni sensori motor (0-2tahun), pre-operational (2-7tahun), concrete operational (7-11tahun), dan formla operational (11 tahun keatas).
xxx Ibid, 44.
xxxi Setiono, Psikologi Perkembangan, 43.
xxxii Kohlberg, Tahap-Tahap, 231-234. Lihat juga dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta : Kencana, 2008), 119.
xxxiiiKohlberg, Tahap-Tahap…, 70. Baca Setiono, Perkembangan Psikologi,80.
xxxiv Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi( Bandung, Remaja Rosda Karya, 2011), 78. Baca juga John W, Creswell, Reseach design; Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan Mixel,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 20.
xxxv Nasution, Penelitian Naturalistik (Bandung: Rineka Cipta, 1996), 17.
xxxvi Moleong, Metodologi, 338-345.
xxxvii C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral (Jakarta; PT Rineka Cipta, 2004), 26.
xxxviii Budiningsih, Pembelajaran,27-28.
xxxix Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, 25.
xl Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami; menyingkap rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian, (Jakarta : rajawali Press, 2006),262.
xli Hasan, Psikologi, 25-26.
xlii Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja Rosda Kraya, 2011), 133-134.
xliii Sesuai dengan jenis-jenis pesantren dalam PP Nomor: 3 tahun 1979
xliv Sebutan ini biasa digunakan di pesantren Tarbiyatut Tholabah, untuk menyebut santri yang menjadi Mahasiswa di STAI Sunan Drajat dan mereka yang telah lulus tingkat MA, meskipun tidak
Madinah: Jurnal Studi Islam, Volume 6 Nomor 2 Desember 2019
kuliah. Observasi, tanggal 12 Maret 2013.
xlv Sudono Iljas, Wawancara, Paciran tanggal 6 April 2013 jam 09.38
xlvi Monks Knoers, Psikologi perkembangan pengantar dalam bebagai bagiannya. (Terj.) SitiRaha yu (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2004 ), 315.
xlvii Santrock, John, W. (2003). Adolescence.Penerjemah Sinto Adelar . Jakarta: Erlangga ,439
xlviii Muhammad alMighwar, Psikologi Remaja (Bandung : Pusataka Setia, 2006). 138-145. Lihat juga dalam Hurlock, Perkembangan anak, 226. Moralitas pascakonvensional harus dicapai selama remaja. tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap pertama. Dalam tahap pertama, individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga ada perubahan dan perbaikan. Tahap kedua, penyesuaian diri dengan standar sosial dan ideal yang diinternalisasi lebih untuk menghindari hukuman.
xlix Hurlock, Perkembangan anak, 225.
l M, Ulwanun Nafi’, Wawancara, Paciran tanggal 8 April 2013, jam 20.30 wib
li Wakhida Nurlatifa, “Penalaran Moral Remaja Pada Siswa Madrasah Aliyah Negeri Malang I”, (
Tesis, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2003)
lii Kusdwiratri setiono, Psikologi Perkembangan;kajian teori Piaget, Kohlberg, Selman, dan aplikasi riset, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), 43.
liii M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an,Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2000).253
liv al- Quran, 68:4 dan Departemen Agama R.I., al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Pustaka Agung Harapan, 2002), 826.
lv al-Qur’an, 26:137.
lvi H.R. Turmizi, dalam Sunan al-Tarmizy, tahqiq: al-„Allamah al-Muhaddith Muhammad Nasir al-Din al-Bany, bab Ma ja‟a fi haq al-Mar‟at „ala Zaujaha, Juz I (Riyad: al-Maktabah li al-Nas}r wa al- Turi’, tt.) 390.
lvii Sayyid Muhammad al-Zarqani, Sharh al-Zarqany „ala Muwatta‟ al-Imam Malik. Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 256.
lviii M. Romly Arief, Kuliah Akhlak Tasawwuf (Jombang: Unhasy Press, 2008),1.
lix Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf I, Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma‟rifah Sufi. (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 34.
lx Ibid..
lxi Ibid.35.
lxii Ibid. 36
lxiii Ancok&Suroso. Psikologi Islami. Cet VII ( Yagyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), 76.
lxiv Nashori, Fuad & Mucharam, R D. Mengembangkan Kreativitas Dalam Perspektif Psikologi Islami. Hal: 78-82
lxv al Quran al isra, 17;23. Terjemahanya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik- baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
lxvi Nazaruddin, wawancara, Paciran, tanggal 8 april 2013 jam 21.45 wib
lxvii Robert H. Thouless,. Pengantar psikologi agama. Jakarta, Terj: Husein. Cet:1. (Jakarta : Rajawali Press, 2000), 34.
lxviii Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 160.
lxix Ridlwan Nasir, Mencari tiplologi format pendidikan ideal;pondok pesantren di tengah arus perubahan.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005),80.
lxx Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan pesantren. (Jakarta: INIS, 1994), 55.
lxxi Abdurrahman Wahid, Pesantren Dan Pengembangan Watak Mandiri, dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta : LKiS, 2001), 97-100.
lxxii Metode ialah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem, untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan, guna mencapai tujuan yang ditentukan. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar,740. Menurut Suparlan Metode pendidikan adalah bagaimana cara
Madinah: Jurnal Studi Islam, Volume 6 Nomor 2 Desember 2019
yang tepat, agar isi atau materi pendidikan itu dididik dan diajarkan. Suparlan Suahrtono, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2007), 120. Sedangkan menurut Syahidin, Metode dapat diartikan pula sebagai suatu cara untuk menyampaikan suatu nilai tertentu dari si pembawa pesan kepada si penerima pesan. Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam al-Qur‟an (Bandung: Alfabeta,2009),79.
lxxiii M. As’ad Azizan, wawancara, Paciran 8 April 2013 jam 20.05 wib
lxxiv lihat al-Quran, 61(al-Saff):3.
lxxv Menurut Muhammad Qutb, Islam telah membentuk suatu masyarakat yang di dalamnya hidup segala nilai dan norma-norma, yang seharusnya menjadi kebiasaan pada seseorang. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut telah menjadi unsur individual dan masyarakat. Selanjutnya dari kebiasaan-kebiasaan tersebut tersusunlah kaidah-kaidah sosial yang kuat dan kokoh berupa sikap mental seperti kejujuran, kebenaran, kecintaan, simpati, kesenangan berkorban dan semangat pengabdian. Pendidikan melalui pembiasaan dimulai dengan dihidupkannya rasa kecintaan terhadap kebenaran, kemudian diubahnya menjadi kegairahan berbuat tanpa merasa berat sedikit pun. Hasan Basri, Metode Pendidikan Islam, 172. Menurut Syahidin, dari berbagai bentuk peristiwa Rasulullah saw. maupun peristiwa yang diabadikan Allah swt. dalam al-Qur’an, dapat diambil beberapa macam metode pengajaran yang mudah untuk diterapkan dalam lapangan pendidikan yaitu: Latihan dan pengulangan, latihan menghafal, latihan berfikir untuk memperdalam iman dan latihan ibadah. Syahidin, Menelusuri Metode. 141- 148. Pendidikan dengan menggunakan latihan dan pengalaman didasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah melalui ayat-ayat yang menggambarkan peristiwa-peristiwa masa lampau (sejarah). Kisah dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan pengalaman langsung sebagai upaya pendidikan tergambar dalam kisah Nabi Musa as. Ketika beliau harus berlatih sabar dalam menerima pendidikan dari Nabi Khidir as. dapat dilihat dalam QS. al- Kahfi 18:66-73. Kemudian kisah Qabil yang membunuh saudaranya; QS. al-Maidah 5:30-31.
lxxvi Peneliti, observasi, Lamongan, pada 15 Maret 2013
lxxvii Untuk kedua istilah itu, al-Nahlawi mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau kesenangan akhirat yang baik dan pasti serta bersih dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dngan melakukan amal shaleh dan menjauhi perbuatan yang berakibat bahaya dan perbuatan buruk. Sementara tarhib” ialah suatu ancaman atau siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah. Tarhib juga diartikan sebagai ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut kepada para hambanya sekaligus untuk memperlihatkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiyah, agar mereka selalu berhati-hati dalam bertindak serta tidak melakukan kesalahan dan kesesatan. Ibid.
lxxviii E.B Hurlock. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. 1993. Hal 84-92
lxxix Dhofier,Tradisi Pesantren,54.
lxxx Setiono. Psikologi Perkembangan,63.
lxxxi Hurlock, Psikologi, 213.
lxxxii Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi al-Ghazali (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), 86.
lxxxiii Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, terjemahan Indonesia oleh Syaifullah Kamalie, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid II (Semarang: Asy-Syifa', 1981), 2.
lxxxivDhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pendangan Hidup Kiai, (Jakarta; LP3ES, 1982), 40.
lxxxvAzra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru,
(Jakarta: Logos, 1997), xxi.
lxxxvi Fanani dan Elly (ed). Op. Cit, hlm 62-53.